Sunday, January 21, 2007

APA PERBEDAAN TUJUAN PEMBELAJARAN DENGAN INDIKATOR


Pada 20 Januari 2007 saya mendapat SMS dari fasilitator IPA SD Kabupaten Magetan Jawa Timur. Bunyi SMS tersebut adalah “Pak Hadi, apa perbedaan antara tujuan pembelajaran dengan indikator, Apakah dalam mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran menggunakan KTSP ini menggunakan indikator atau tujuan pembelajaran?”.
Pertanyaan seputar indikator dan tujuan pembelajaran muncul setelah pemerintah (Depdiknas) mengeluarkan draf Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Dalam draft tersebut standard isi dan standard kompetensi dirinci ke dalam kompetensi dasar dan indikator. Tampilan ini berbeda dengan Kurikulum 1994. Pada Kurikulum 1994 terdapat Tujuan Instruksional Umum dan Tujuan Instruksional Khusus.
Perubahan tampilan/format ini menimbulkan pertanyaan pada sebagian besar guru-guru kita termasuk juga para kepala sekolah dan pengawas. “Apakah KBK menggunakan indikator, bukan tujuan pembelajaran?”, “Apakah indikator itu menjadi salah satu hal yang membedakan KBK dengan Kurikulum 1994”, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Pertanyaan ini tentu saja muncul karena kehadiran KBK, standard isi dan standard kompetensi tidak disertai dengan penjelasan mengenai apa itu indikator, apapula bedanya indikator dengan tujuan pembelajaran.

Tujuan Pembelajaran
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) “tujuan” diartikan sebagai sesuatu yang dituju atau dituntut, tujuan pembelajaran diartikan sebagai sasaran yang ingin dicapai setelah mengajarkan pokok bahasan atau subpokok bahasan yang sudah direncanakan. Berdasarkan definisi tersebut tujuan pembelajaran dirumuskan ketika seorang guru merencanakan pembelajaran.
Tujuan pembelajaran dapat dirumuskan dalam dua bentuk, yaitu dalam bentuk apa yang akan dilakukan guru dan dalam bentuk apa yang telah dikuasai siswa. Perumusan tujuan pembelajaran dalam bentuk apa yang akan dilakukan guru misalnya adalah, menjelaskan susunan rangka manusia beserta bagian-bagian dan fungsinya (IPA), mendeskripsikan geografi Negara-negara di Asia Tenggara (IPS), menjelaskan berbagai bilangan (Matematika). Dari segi rumusan tersebut, tujuan pembelajaran tercapai setelah guru selesai mengelola pembelajaran, terlepas apakah siswa telah berhasil atau tidak berhasil memahami/menguasai materi pembelajaran.
Perumusan tujuan pembelajaran dalam bentuk hasil belajar misalnya, siswa mampu merumuskan simpulan hubungan antara panjang kabel dengan terangnya nyala lampu pada susunan seri (IPA), siswa dapat menjelaskan ciri-ciri demokrasi pancasila (IPS), dan lain-lain. Rumusan tujuan pembelajaran dalam bentuk hasil belajar ini lebih bermanfaat karena berfungsi sebagai acuan merancang pembelajaran, sebagai acuan dalam proses pembelajaran, dan juga berfungsi sebagai acuan dalam asesmen/ penilaian.
Dalam uraian ini, kita akan memfokuskan deskripsi tujuan pembelajaran sebagai hasil belajar, yaitu dalam bentuk macam kinerja yang dilakukan oleh siswa pada akhir pembelajaran untuk menunjukkan bahwa mereka telah mempelajari sesuatu. Hasil belajar yang dikuasai siswa yang kemudian ditampilkan disebut juga sebagai kompetensi. Kompetensi didefinisikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.

Indikator
Ada dua cara merumuskan kompetensi, yang pertama ialah dengan jalan merumuskan kompetensi dalam bentuk kinerja khusus, misalnya:
1) Memilih mikroskop yang sesuai dengan keperluan pengamatan
2) Meletakkan objek pada meja benda
3) Memilih perbesaran dengan tepat
4) Mengatur diafragma pencahayaan
5) Mengatur fokus dengan mengubah jarak lensa objektif dengan benda
6) Membersihkan alat-alat dan mengembalikannya ke tempat semula.
Cara kedua ialah dengan jalan menuliskan lebih dahulu kompetensi yang harus dikuasai siswa kemudian menuliskan sejumlah indikator sebagai penunjuk ketercapaian kompetensi. Contohnya:
1. Mampu menggunakan mikroskop
a. Memilih mikroskop yang sesuai dengan keperluan pengamatan
b. Meletakkan objek pada meja benda
c. Memilih perbesaran dengan tepat
d. Mengatur diafragma pencahayaan
e. Mengatur fokus dengan mengubah jarak lensa objektif dengan benda
f. Membersihkan alat-alat dan mengembalikannya ke tempat semula.
Perhatikan bahwa, pada kedua contoh tersebut, rumusan indikatornya sama. Pada contoh pertama mengisyaratkan bahwa indikator tersebut merupakan kompetensi akhir pembelajaran. Pada contoh kedua, kompetensi pembelajaran adalah “mampu menggunakan mikroskop”, bukan memilih mikroskop yang sesuai, meletakkan objek, memilih perbesaran, mengatur diafragma dan mengatur fokus. Indikator a sampai f hanya merupakan “sampel” performansi yang merepresentasikan kemampuan menggunakan mikroskop.
Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai dan sikap yang perlu dimiliki oleh pembelajar, oleh sebab itu indikator juga memenuhi kriteria pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap. Indikator dirumuskan dalam kalimat yang jelas, pasti, dan dapat diukur. Perumusan secara jelas, artinya siswa dan guru memiliki pengertian yang sama tentang apa yang tercantum dalam indikator. Perumusan secara pasti, artinya indikator tersebut mengandung satu pengertian atau tidak bermakna ganda Perumusan yang dapat diukur berarti tingkat pencapaian siswa dalam kinerja yang terdapat dalam indikator dapat diukur dengan tes atau alat pengukur lainnya.

Semoga bermanfaat,

Hadi Suwono
Malang, 22 Januari 2007.

Thursday, January 18, 2007

Pentingnya Praktik di Kelas dan Refleksi Dalam Pelatihan Guru

Pentingnya Praktik di Kelas dan Refleksi Dalam Pelatihan Guru



Pelatihan guru yang hanya mengandalkan ceramah tanpa ada praktik mengajar dikelas serta refleksi merupakan pelatihan yang tidak bermanfaat. Ceramah seperti ini bahkan tidak meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana mengajar, apalagi meningkatkan keterampilan mengajar. Hal ini bagaikan panggang jauh dari api. Oleh sebab itu pelatihan-pelatihan guru sebaiknya mengintegrasikan diskusi dan pemecahan tentang mengajar dengan praktik di kelas dan refleksi.

Praktik di kelas merupakan upaya untuk memberi kesempatan kepada guru mendapatkan pengalaman langsung. Ide dasar belajar berdasarkan pengalaman adalah mendorong peserta pelatihan untuk merefleksi atau melihat kembali pengalaman-pengalaman mereka sehingga mereka dapat memperbaiki cara mengajarnya. Pentingnya pengalaman langsung terhadap proses belajar telah dikaji oleh Kolb (1984) dan Wallace (1994, dalam Millrood, 2001). Kolb mengatakan bahwa pembelajaran orang dewasa akan lebih efektif jika pebelajar lebih banyak terlibat langsung daripada hanya pasif menerima dari guru. Kolb (1984) dengan teori experiential learning-nya menjabarkan ide-ide dari pengalaman dan refleksi. Kolb mendifinisikan empat modus belajar yaitu: Concrete experience (pengalaman nyata), reflective observation (merefleksikan observasi), abstract conceptualization (konsep yang abstrak), dan active experimentation (eksperimen aktif).

Wallace (1994) mengatakan bahwa ada dua sumber pengetahuan yaitu pengetahuan yang diterima/diperoleh melalui belajar baik secara formal maupun informal (received knowledge) dan pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman (experiential knowledge). Kedua sumber pengetahuan tersebut merupakan unsur kunci bagi pengembangan profesionalisme. Wallace berasumsi bahwa masing-masing peserta pelatihan membawa pengetahuan dan pengalaman ke pelatihan tersebut. Wallace lebih lanjut menjelaskan bahwa efektifnya pelatihan tergantung pada bagaimana peserta pelatihan melakukan refleksi mengkaitkan antara pengetahuan dan pengalaman serta praktik mengajar untuk memperbaiki pembelajarannya lebih lanjut. Kemampuan melakukan refleksi dari praktik mengajar yang didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan menentukan pencapaian kompetensi profesional.

Mengapa Refleksi itu penting?
Boud, et al (1985) mendefinisikan refleksi sebagai “a generic term for those intellectual and effective activities in which individuals engage to explore their experiences in order to lead to a new understanding and appreciation”. Reid (1993) menyatakan bahwa refleksi merupakan proses mereviu pengalaman untuk mendeskripsikan, menganalisis, mengevaluasi. Kemmis (1985) setuju dengan pendapat Reid bahwa proses refleksi bukan proses berpikir pasif tetapi merupakan proses berpikir aktif. Johns (1995) mencatat bahwa refleksi membantu praktisi (dalam hal ini guru) untuk menilai, memahami dan belajar melalui pengalamannya. Jadi refleksi meupakan proses belajar yang penting bagi guru untuk memperbaiki keterampilan mengajarnya.

Kapan refleksi dilakukan. Refleksi akan lebih baik dilakukan sebelum praktik mengajar dan setelah praktik mengajar. Refleksi sebelum praktik mengajar disebut sebagai anticipatory reflection berfungsi untuk mereviu rencana praktik dan mencari kelemahan-kelemahan yang mungkin terjadi ketika praktik mengajar. Refleksi setelah paraktik mengajar disebut sebagai retrospective thinking berfungsi untuk menemukan kelemahan-kelemahan keterampilan mengajar maupun kelemahan dalam mengembangkan pembelajaran. Berdasarkan kelemahan ini guru dapat merancang kegiatan yang berguna untuk meningkatkan proses pembelajaran dan keterampilan mengajarnya.

Selamat berkarya dan membantu guru-guru agar menjadi guru yang profesional. Dengan guru yang profesional maka anak-anak kita akan maju.

Hadi Suwono
Malang, 19 Januari 2007